Tuesday, January 1, 2013

Komitmen bukan merupakan Hal yang Penting bagi Emerging Adulthood untuk Membangun Suatu Hubungan Romantis


Hubungan romantis pada emerging adulthood (usia 18-25 tahun) merupakan salah satu hal yang mencerminkan aspek psikososial menurut Erikson, dimana tahap perkembangannya adalah intimacy vs isolation, serta pencarian jati diri dalam mempersiapkan fase dewasa muda (Papalia dan Feldman, 2012). Oleh sebab itu, hubungan romantis atau yang biasa kita sebut sebagai ‘pacaran’, menjadi hal yang sangat ‘normal’ dan biasa dalam pergaulan masa emerging adulthood karena sesuai dengan task development nya. Menurut saya, pacaran tidak dapat terlepas dari berbagai kompleksitas karena menyangkut berbagai komponen yang terkait satu sama lain, dan untuk mencapai hubungan yang ideal. Tiga komponen cinta menurut Stenberg 1986 adalah keintiman, hasrat, dan komitmen (dalam Wisnuwardhani, 2009). Dalam hal ini, saya akan menjawab pertanyaan “Apakah komitmen merupakan hal yang penting bagi emerging adulthood untuk membangun suatu hubungan romantis?”.

Dalam pandangan saya, hal paling mendasar dari pacaran adalah rasa cinta. Cinta merupakan modal utama dalam menjalankan hubungan, didukung dengan hasrat dan keintiman. Bagaimana dengan komitmen? Kelley 1983 menyatakan bahwa cinta dan komitmen sebagian besar adalah tumpang tindih, namun sebagian lagi merupakan konsep yang independen. Begitu juga dengan Rosenblatt 1977 yang mengatakan bahwa komitmen merupakan hal yang berbeda dengan cinta dan bahkan tidak bergantung pada cinta. Diikuti dengan Solomon 1981, yang dengan tegas menyatakan bahwa "Cinta bukanlah 'komitmen”, dan tidak ada hubungannya dengan komitmen. Cinta adalah emosi; komitmen adalah janji untuk melakukan sesuatu atau untuk terus melakukan sesuatu, apapun perasaan orang tersebut". (dalam Fehr, 1988). Sedangkan emerging adulthood sendiri merupakan fase dimana seseorang melalui beberapa tonggak, seperti memasuki universitas, bekerja, pindah rumah, menikah dan punya anak (Schulenberg et all, dalam Papalia dan Feldman, 2012). Begitu banyaknya hal yang harus difokuskan oleh para emerging adulthood ini menyebabkan mereka harus membagi atensinya dengan sangat tepat, karena jika tidak teratur, dapat menjadi beban dan stres atau bahkan dapat menghalanginya dalam proses pencapaian identity achievement. Oleh sebab itu, saya mengargumentasikan bahwa komitmen bukan merupakan hal yang penting bagi emerging adulthood untuk membangun suatu hubungan romantis.

Menurut saya, pacaran pada saat emerging adulthood adalah kurang efektif jika terlalu menitikberatkan pada komitmen itu sendiri, apalagi jika merupakan suatu tolok ukur untuk melanjutkan hubungan. Mengacu pada pendapat Surra & Gray 2000, yang juga mengargumentasikan bahwa tingkat komitmen pada hubungan, ternyata jauh lebih penting dalam memprediksi kemungkinan kelanjutan hubungan, daripada tingkat cinta (dalam Bartell, 2002). Hal ini menjadi lebih memprihatinkan karena perasaan cinta itu sendiri menjadi tidak lebih penting daripada sebuah komitmen. Dalam mempertahankan komitmen, emerging adulthood masih belum mengerti secara matang, belum bisa berpikir secara logis dalam hal ambiguity, keraguan, ketidak konsistenan, kontradiksi, ketidaksempurnaan, dan kompromi. Secara kognitif, mereka baru saja akan memasuki dan mempersiapkan diri untuk masuk kedalam fase dewasa muda tersebut (Papalia dan Feldman, 2012).

Selain itu, hubungan romantis pada masa transisi ke masa dewasa ditandai dengan passion, affiliation, dan intimacy. Konflik khas yang harus diselesaikan pada tahap perkembangan ini memang berkaitan dengan keseimbangan komitmen untuk kemitraan dan otonomi, yang ditandai dengan pertanyaan seperti "Akankah saya dapat berkomitmen untuk orang ini?", "Apakah kita kompatibel?" dan "Dapatkah saya mentoleri dari kekurangan, nilai-nilai, dan gaya hidupnya?". Meskipun adanya komitmen dapat menyebabkan hubungan jangka panjang, menyenangkan, dan eksplorasi pada periode usia emerging adulthood (Arnett, 2000) tetapi mereka lebih memilih menghindari pertanyaan-pertanyaan tersebut (Beyers dan Seiffge, 2010).

Emerging adulthood juga merupakan proses dimana seseorang belajar bertanggung jawab kepada diri sendiri, membuat keputusan secara independen, dan belajar untuk dapat bebas secara finansial pada saat dewasa muda nanti. Hal ini juga telah didukung oleh Vaillant 1997, tentang bentuk tipikal perkembangan pada emerging adulthood, ia menyatakan bahwa pada sekitar usia 20 tahun, laki-laki masih berada dibawah kendali orang tuanya, dengan kata lain, orang tua masih mendominasi (Papalia dan Feldman, 2012). Menurut saya, ketika orang tua masih mendominasi dan ketika orang tersebut belum bisa bertanggung jawab secara total kepada dirinya sendiri dan masih bergantung pada orang tua serta belum bebas secara finansial, orang tersebut tidak dapat bertanggung jawab dan berkomitmen kepada pacarnya. Dalam teori ketergantungan Thibaut & Kelley 1959, Rusbult menegaskan bahwa setiap orang akan berkomitmen untuk berhubungan, sejauh hubungan itu adalah memuaskan (menghargai hubungan lebih mendalam daripada sekadar biaya yang dikeluarkan), melebihi tingkat perbandingan mereka terhadap alternatif berpacaran, dan ketika mereka telah menginvestasikan sumber daya yang tak terpisahkan (misalnya: waktu, energi, uang, emosional) dalam pacaran. Jadi dalam pandangan Rusbult, cinta (kepuasan) dan komitmen tidak perlu sangat berkorelasi karena komitmen dapat dihasilkan oleh alternatif yang buruk atau investasi besar (dalam Fehr, 1988). Pernyataan ini juga sesuai dengan perspektif evolusi yang disediakan oleh Cramer et al 2000, dimana laki-laki dan perempuan yang percaya pasangan mereka, akan mempertahankan kriteria mate-selection pada hubungan romantis mereka. Seorang perempuan percaya bahwa pasangannya akan memberikan keamanan ekonomi untuk dirinya dan anak-anaknya, dan seorang pria percaya bahwa pasangannya akan berusaha untuk menjadi sehat, menarik, dan dapat ‘diaksessecara seksual. Setiap pelanggaran atas kepercayaan, bisa berpotensi terjadinya putus hubungan dan menyebabkan pengkhianatan lebih lanjut dalam hubungan (dalam Greene, 2006). Bukti teori-teori tersebut cukup kuat untuk menjelaskan tentang kebutuhan pada hubungan romantis yang belum dapat dipenuhi oleh emerging adulthood. Oleh sebab itu, saya memandang bahwa rasa cinta itu lebih esensial dari sekadar komitmen, hal ini juga didukung dengan belum matangnya emerging adulthood untuk berkomitmen dan tingkat kemandiriannya yang masih kurang.

Kemudian, saya berpikir bahwa masa psikososial emerging adulthood ini cenderung berada pada pergaulan atau friendship yang kuat untuk mengindari terjadinya isolasi dalam diri mereka. Mereka dekat terhadap significant others, seperti: keluarga, sahabat, teman, dll. Dalam memandang komitmen, mereka juga dapat dipengaruhi oleh keadaan internal dan eksternalnya. Menurut Bartell (2002), mereka membedakan antara komponen komitmen berdasarkan pilihan pribadi dan juga dukungan dari luar yang memberikan ‘paksaan’ atau kekuatan eksternal seperti orang-orang yang membatasi individu untuk mempertahankan atau membubarkan hubungan. Menurut saya, komitmen seperti ini tidaklah efektif bagi emerging adulthood karena begitu banyaknya hal yang juga dicampurtangani oleh orang-orang lain, terutama yang bertentangan dengan dirinya. Seyogiyanya, cinta yang mereka rasakan tidak dapat diinterpretasikan oleh orang lain sebagai penentu kelanjutan hubungan. Lebih jauh lagi, Bartell (2002) juga mengatakan bahwa individu yang berkomitmen, terutama karena cinta mereka untuk pasangan mereka, mungkin lebih cenderung untuk meninggalkan hubungan ketika mendapatkan kesempatan kerja dinegara lain, daripada individu yang dibatasi oleh kebutuhan mereka dalam hal bantuan ekonomi yang diberikan oleh pasangannya. Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa emerging adulthood masih belum dapat memenuhi kebutuhan pasangannya karena mereka masih bergantung pada orang tua, dan cinta telah terbukti lebih kuat daripada sebuah komitmen, dimana cinta tidak terlepas dari kasih dan saling berbagi kepada pasangan ketika saling membutuhkan. Kembali pada definisi “romantic love” menurut Sternberg 1986, yaitu fokus perhatiannya adalah keintiman dan hasrat, dimana seorang yang sedang menjalankan hubungan romantis, tertarik satu sama lain secara fisik dan emosi, bukan komitmen. Bagaimanapun, mereka tidak berkomitmen satu sama lain (Papalia dan Feldman, 2012).

Meskipun cinta dapat berkontribusi untuk mengembangkan komitmen dalam hubungan romantis, tetapi hal itu tidak selalu terjadi (misalnya: pasangan mungkin jatuh cinta, tapi tidak memiliki komitmen untuk menjaga hubungan, atau pasangan dapat berkomitmen untuk hubungan dengan pasangan yang tidak mereka cintai) (dalam Bartell, 2002). Menurut saya, keduanya sangat mungkin terjadi saat emerging adulthood, dimana ketika mereka jatuh cinta dan mereka tidak memiliki komitmen, berarti mereka telah merasa puas dengan hubungan tersebut baik secara fisik maupun emosi, serta tidak terfokus pada hal yang mungkin akan memberatkan mereka untuk berpikir terlalu jauh tentang prospek hubungan mereka. Mereka lebih ‘present’ daripada ‘future’. Pendapat saya ini juga didukung oleh teori Hill 2004 yang menemukan bahwa kasih sayang secara fisik (physical affection) memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan hubungan romantis. Gulledge, Gulledge, dan Stahmann 2003 memberikan bukti korelasional yang kuat antara kasih sayang secara fisik dan hubungan kepuasan, seperti: saling memijat, memeluk, mencium wajah dan berciuman bibir, semua itu secara signifikan berhubungan dengan kepuasan hubungan romantic (dalam Hill, 2009)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa emerging adulthood yang sedang berada dalam tahap krisis task development memiliki banyak tuntutan dalam pribadinya yang dapat menyebabkan timbulnya rasa ketidakamanan (attachment insecurity), yang juga terkait dengan kepuasan hubungan romantis yang lebih rendah dan komitmen yang lebih rendah (Robbins, 2008). Oleh sebab itu, komitmen bukan merupakan hal yang penting bagi emerging adulthood untuk membangun suatu hubungan romantis karena selain banyaknya kesibukan dan belum matangnya kognitif emerging adulthood, komitmen itu sendiri tidak didefinisikan dalam komponen romantic love, dapat menjadi tumpang tindih, dan mengakibatkan adanya konsekuensi yang lebih besar, seperti dalam hal finansial, tanggung jawab, dan pengambilan keputusan, yang belum dapat ditangani oleh emerging adulthood.                                               
 
Daftar Pustaka

Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens through the twenties. American Psychologist, 55, 469-480.

Bartell, D.S. (2002). The Processes of Commitment in Premarital Romantic Relationships: An Elaboration of a Typology. Austin: The University of Texas.

Beyers, W., & Seiffge K. I. (2010). Does identity precede intimacy? Testing Erikson’s theory on romantic development in emerging adults of the 21st century. Journal of Adolescent Research, 25 (3), 387-415.

Fehr, B. (1988). Prototype Analysis of the Concepts of Love and Commitment. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 55, No. 4: 557-579. University of Winnipeg, Canada. American Psychological Association, Inc. 


Greene, K.H. (2006). Awareness Of Parental Infidelity On College Students’ Reported Commitment In Romantic Relationships. The Florida State University College Of Human Sciences.

Hill, M.T. (2009). Intimacy, Passion, Commitment, Physical Affection And Relationship Stage As Related To Romantic Relationship Satisfaction. Oklahoma State University.

Papalia, D.E., & Feldman, R.D. (2012). Experience Human Development: Twelve Edition. McGraw-Hill Companies, Inc.

Robbins, D.M. (2008). Romantic Attachment Formation, Satisfaction, Commitment, and Social Support in Early Adult Dating Relationships. Marquette University. ProQuest Dissertations and Theses


Wisnuwardhani, D. (2009). Hubungan Interpersonal. Dalam buku Psikologi Sosial. Meinarno, E.A. & Sarwono, S.W, penyunting. Jakarta: Salemba Humanika