Hubungan romantis pada emerging
adulthood (usia 18-25 tahun) merupakan salah satu hal yang mencerminkan
aspek psikososial menurut Erikson, dimana tahap perkembangannya adalah intimacy
vs isolation, serta pencarian jati diri dalam mempersiapkan fase
dewasa muda (Papalia dan Feldman, 2012). Oleh sebab itu, hubungan
romantis atau yang biasa kita sebut sebagai ‘pacaran’, menjadi hal yang sangat
‘normal’ dan biasa dalam pergaulan masa emerging adulthood karena sesuai
dengan task development nya. Menurut saya, pacaran tidak dapat terlepas
dari berbagai kompleksitas karena menyangkut berbagai komponen yang terkait
satu sama lain, dan untuk mencapai hubungan yang ideal. Tiga komponen cinta
menurut Stenberg 1986 adalah keintiman, hasrat, dan komitmen (dalam Wisnuwardhani,
2009). Dalam hal ini, saya akan menjawab pertanyaan “Apakah komitmen merupakan
hal yang penting bagi emerging adulthood untuk membangun suatu hubungan
romantis?”.
Dalam pandangan saya,
hal paling mendasar dari pacaran adalah rasa cinta. Cinta merupakan modal utama
dalam menjalankan hubungan, didukung dengan hasrat dan keintiman. Bagaimana
dengan komitmen? Kelley 1983
menyatakan bahwa cinta dan komitmen sebagian besar adalah tumpang tindih, namun sebagian lagi
merupakan konsep yang independen. Begitu juga dengan Rosenblatt 1977 yang mengatakan bahwa komitmen merupakan hal yang
berbeda dengan cinta dan bahkan tidak
bergantung pada cinta. Diikuti
dengan Solomon 1981, yang dengan tegas menyatakan bahwa "Cinta bukanlah
'komitmen”, dan
tidak ada hubungannya dengan komitmen.
Cinta adalah emosi; komitmen adalah janji untuk melakukan sesuatu atau untuk terus melakukan sesuatu,
apapun perasaan orang tersebut". (dalam Fehr, 1988). Sedangkan emerging
adulthood sendiri merupakan fase dimana seseorang melalui beberapa tonggak,
seperti memasuki universitas, bekerja, pindah rumah, menikah dan punya anak
(Schulenberg et all, dalam Papalia dan Feldman, 2012). Begitu banyaknya hal
yang harus difokuskan oleh para emerging adulthood ini menyebabkan
mereka harus membagi atensinya dengan sangat tepat, karena jika tidak teratur,
dapat menjadi beban dan stres atau bahkan dapat menghalanginya dalam proses
pencapaian identity achievement. Oleh sebab itu, saya mengargumentasikan
bahwa komitmen bukan merupakan hal yang penting bagi emerging adulthood
untuk membangun suatu hubungan romantis.
Menurut
saya, pacaran pada saat emerging adulthood adalah kurang efektif jika
terlalu menitikberatkan pada komitmen itu sendiri, apalagi jika merupakan suatu
tolok ukur untuk melanjutkan hubungan. Mengacu pada pendapat Surra
& Gray 2000, yang juga mengargumentasikan bahwa tingkat komitmen pada
hubungan, ternyata jauh lebih penting dalam memprediksi kemungkinan kelanjutan hubungan, daripada tingkat cinta
(dalam Bartell, 2002). Hal ini menjadi lebih memprihatinkan karena
perasaan cinta itu sendiri menjadi tidak lebih penting daripada sebuah
komitmen. Dalam mempertahankan komitmen, emerging adulthood masih belum
mengerti secara matang, belum bisa berpikir secara logis dalam hal ambiguity,
keraguan, ketidak konsistenan, kontradiksi, ketidaksempurnaan, dan kompromi.
Secara kognitif, mereka baru saja akan memasuki dan mempersiapkan diri untuk
masuk kedalam fase dewasa muda tersebut (Papalia dan Feldman, 2012).
Selain
itu, hubungan romantis pada masa transisi ke masa dewasa
ditandai dengan passion, affiliation, dan intimacy. Konflik khas
yang harus diselesaikan pada tahap perkembangan ini memang berkaitan dengan
keseimbangan komitmen untuk kemitraan dan otonomi, yang ditandai dengan
pertanyaan seperti "Akankah saya dapat berkomitmen untuk orang ini?",
"Apakah kita kompatibel?" dan "Dapatkah saya mentoleri dari
kekurangan, nilai-nilai, dan gaya hidupnya?". Meskipun adanya komitmen
dapat menyebabkan hubungan jangka panjang, menyenangkan, dan eksplorasi pada
periode usia emerging adulthood (Arnett, 2000) tetapi mereka lebih
memilih menghindari pertanyaan-pertanyaan tersebut (Beyers dan Seiffge, 2010).
Emerging adulthood
juga merupakan proses dimana seseorang belajar bertanggung jawab kepada diri
sendiri, membuat keputusan secara independen, dan belajar untuk dapat bebas
secara finansial pada saat dewasa muda nanti. Hal ini juga telah didukung oleh
Vaillant 1997, tentang bentuk tipikal perkembangan pada emerging adulthood, ia
menyatakan bahwa pada sekitar usia 20 tahun, laki-laki masih berada dibawah
kendali orang tuanya, dengan kata lain, orang tua masih mendominasi (Papalia
dan Feldman, 2012). Menurut saya, ketika orang tua masih mendominasi dan ketika
orang tersebut belum bisa bertanggung jawab secara total kepada dirinya sendiri
dan masih bergantung pada orang tua serta belum bebas secara finansial, orang
tersebut tidak dapat bertanggung jawab dan berkomitmen kepada pacarnya. Dalam teori ketergantungan Thibaut & Kelley 1959, Rusbult menegaskan bahwa setiap orang akan berkomitmen
untuk berhubungan, sejauh hubungan itu adalah memuaskan (menghargai
hubungan lebih mendalam daripada sekadar biaya yang dikeluarkan), melebihi tingkat perbandingan mereka terhadap alternatif berpacaran, dan ketika mereka telah menginvestasikan sumber daya yang
tak terpisahkan (misalnya: waktu, energi, uang, emosional) dalam pacaran. Jadi dalam pandangan Rusbult, cinta (kepuasan) dan
komitmen tidak perlu sangat berkorelasi karena komitmen dapat dihasilkan oleh
alternatif yang buruk
atau investasi besar (dalam Fehr, 1988). Pernyataan ini juga
sesuai dengan perspektif evolusi yang
disediakan oleh Cramer et al 2000, dimana laki-laki dan
perempuan yang percaya pasangan mereka, akan mempertahankan kriteria mate-selection pada hubungan romantis mereka. Seorang perempuan percaya bahwa pasangannya akan memberikan keamanan
ekonomi untuk dirinya dan anak-anaknya, dan seorang pria percaya bahwa pasangannya akan berusaha untuk
menjadi sehat, menarik, dan dapat ‘diakses’ secara seksual. Setiap pelanggaran atas kepercayaan, bisa berpotensi terjadinya putus
hubungan dan menyebabkan
pengkhianatan lebih lanjut dalam hubungan (dalam Greene, 2006).
Bukti teori-teori tersebut cukup kuat untuk menjelaskan tentang kebutuhan pada
hubungan romantis yang belum dapat dipenuhi oleh emerging adulthood. Oleh
sebab itu, saya memandang bahwa rasa cinta itu lebih esensial dari sekadar
komitmen, hal ini juga didukung dengan belum matangnya emerging adulthood
untuk berkomitmen dan tingkat kemandiriannya yang masih kurang.
Kemudian, saya berpikir
bahwa masa psikososial emerging adulthood ini cenderung berada pada
pergaulan atau friendship yang kuat untuk mengindari terjadinya isolasi
dalam diri mereka. Mereka dekat terhadap significant others, seperti:
keluarga, sahabat, teman, dll. Dalam memandang komitmen, mereka juga dapat
dipengaruhi oleh keadaan internal dan eksternalnya. Menurut Bartell (2002), mereka membedakan antara komponen komitmen berdasarkan pilihan
pribadi dan juga dukungan dari luar yang memberikan ‘paksaan’ atau
kekuatan eksternal seperti orang-orang
yang membatasi individu untuk mempertahankan atau
membubarkan hubungan. Menurut saya, komitmen seperti ini
tidaklah efektif bagi emerging adulthood karena begitu banyaknya hal
yang juga dicampurtangani oleh orang-orang lain, terutama yang bertentangan
dengan dirinya. Seyogiyanya, cinta yang mereka rasakan tidak dapat
diinterpretasikan oleh orang lain sebagai penentu kelanjutan hubungan. Lebih
jauh lagi, Bartell (2002) juga mengatakan bahwa individu yang berkomitmen, terutama karena cinta mereka untuk pasangan mereka, mungkin lebih cenderung untuk meninggalkan hubungan
ketika mendapatkan kesempatan kerja dinegara lain, daripada individu yang dibatasi oleh kebutuhan mereka dalam
hal bantuan ekonomi yang diberikan
oleh pasangannya. Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa emerging
adulthood masih belum dapat memenuhi kebutuhan pasangannya karena mereka
masih bergantung pada orang tua, dan cinta telah terbukti lebih kuat daripada
sebuah komitmen, dimana cinta tidak terlepas dari kasih dan saling berbagi
kepada pasangan ketika saling membutuhkan. Kembali pada definisi “romantic
love” menurut Sternberg 1986, yaitu fokus perhatiannya adalah keintiman dan
hasrat, dimana seorang yang sedang menjalankan hubungan romantis, tertarik satu
sama lain secara fisik dan emosi, bukan komitmen. Bagaimanapun, mereka tidak
berkomitmen satu sama lain (Papalia dan Feldman, 2012).
Meskipun
cinta dapat berkontribusi untuk mengembangkan komitmen dalam hubungan romantis, tetapi
hal itu tidak selalu terjadi
(misalnya: pasangan mungkin jatuh cinta, tapi tidak memiliki komitmen untuk menjaga hubungan, atau pasangan dapat berkomitmen untuk hubungan dengan pasangan yang tidak
mereka cintai)
(dalam Bartell, 2002). Menurut saya, keduanya sangat mungkin terjadi saat emerging
adulthood, dimana ketika mereka jatuh cinta dan mereka tidak memiliki
komitmen, berarti mereka telah merasa puas dengan hubungan tersebut baik secara
fisik maupun emosi, serta tidak terfokus pada hal yang mungkin akan memberatkan
mereka untuk berpikir terlalu jauh tentang prospek hubungan mereka. Mereka
lebih ‘present’ daripada ‘future’. Pendapat saya ini juga
didukung oleh teori Hill 2004
yang menemukan bahwa
kasih sayang secara fisik
(physical
affection) memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan hubungan romantis. Gulledge, Gulledge,
dan Stahmann 2003 memberikan bukti korelasional yang kuat antara kasih sayang secara fisik dan hubungan kepuasan, seperti: saling memijat, memeluk, mencium wajah
dan
berciuman bibir, semua itu secara signifikan berhubungan dengan kepuasan hubungan
romantic (dalam Hill, 2009)
Jadi, dapat disimpulkan
bahwa emerging adulthood yang sedang berada dalam tahap krisis task
development memiliki banyak tuntutan dalam pribadinya yang dapat
menyebabkan timbulnya rasa ketidakamanan (attachment insecurity), yang juga
terkait dengan kepuasan hubungan romantis
yang lebih rendah dan komitmen
yang lebih rendah (Robbins, 2008). Oleh sebab itu, komitmen
bukan merupakan hal yang penting bagi emerging adulthood untuk membangun
suatu hubungan romantis karena selain banyaknya kesibukan dan belum
matangnya kognitif emerging adulthood, komitmen itu sendiri tidak
didefinisikan dalam komponen romantic love, dapat menjadi tumpang
tindih, dan mengakibatkan adanya konsekuensi yang lebih besar, seperti dalam
hal finansial, tanggung jawab, dan pengambilan keputusan, yang belum dapat
ditangani oleh emerging adulthood.
Daftar Pustaka
Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development
from the late teens through the twenties. American Psychologist, 55,
469-480.
Bartell, D.S. (2002). The
Processes of Commitment in Premarital Romantic Relationships: An Elaboration of
a Typology. Austin: The
University of Texas.
Beyers, W., & Seiffge K. I. (2010). Does identity
precede intimacy? Testing Erikson’s theory on romantic development in emerging
adults of the 21st century. Journal of Adolescent Research, 25 (3),
387-415.
Fehr, B. (1988). Prototype
Analysis of the Concepts of Love and Commitment. Journal of Personality and
Social Psychology Vol. 55, No. 4: 557-579.
University of Winnipeg, Canada. American Psychological Association, Inc.
Greene,
K.H. (2006).
Awareness Of Parental Infidelity On College Students’ Reported Commitment In Romantic
Relationships. The Florida State University College Of Human Sciences.
Hill,
M.T. (2009). Intimacy, Passion, Commitment, Physical Affection And Relationship
Stage As Related To Romantic Relationship Satisfaction. Oklahoma State
University.
Papalia,
D.E., & Feldman, R.D. (2012). Experience Human Development: Twelve Edition.
McGraw-Hill Companies, Inc.
Robbins,
D.M. (2008). Romantic Attachment Formation, Satisfaction, Commitment, and
Social Support in Early Adult Dating Relationships. Marquette University. ProQuest
Dissertations and Theses
Wisnuwardhani,
D. (2009). Hubungan Interpersonal. Dalam buku Psikologi Sosial. Meinarno, E.A.
& Sarwono, S.W, penyunting. Jakarta: Salemba Humanika